Kalau boleh saya mengutarakan sebuah pendapat, maka hal pertama yang ingin saya bilang dari pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia adalah bahwa, satu dari sepuluh anak Indonesia, mengatakan bahasa Inggris itu sulit. Sebenarnya, bahasa Inggris tidaklah menjadi sesuatu yang sulit apabila diajarkan dengan konsep dasar yang benar, saya percaya itu.
Sebagai guru, kita sering memperlakukan bahasa Inggris layaknya pelajaran Sejarah, Geografi, dan Matematika. Anak-anak didik diharuskan untuk menghafal kosakata, rumus tenses, dan pola-pola kalimat yang tentu saja membuat mereka semakin pusing. Setelah hafal, proyeksi selanjutnya adalah mengerjakan soal. Diharapkan melalui hafalan-hafalan melelahkan yang sudah dilewati, mereka mampu mendapatkan nilai tinggi di ujian.
Padahal kenyataannya tidak bisa seperti itu, dan kesalahan tersebut bisa dimaknai bahwa kita, para guru belum mengerti apa itu konsep dasar bagi pembelajaran bahasa Inggris sesungguhnya. Bahasa adalah kemampuan atau skill. Ia bukan hanya dipelajari, ia didapatkan.
Kalau siswa dibebani pada aktivitas menghafal dan menghafal, lalu pada examination mereka bisa bantai soal ujian dengan nilai 100, kemudian langsung mengasumsikan bahwa mereka bisa berbahasa Inggris, saya rasa asumsi tersebut kurang tepat. Tetapi kalau mereka bisa mendengarkan teks dengan tepat, lihai dalam membaca, fasih berbicara, dan indah dalam menulis, maka itulah yang dimaksud mendapatkan skill.
Pasti banyak yang bertanya, loh bukankah menghafal kosakata merupakan gerbang menuju kesuksesan dalam belajar bahasa Inggris? Bukankah tanpa menghafal maka seorang siswa tidak akan mampu menggunakan bahasa Inggris? Menurut saya poin utama bukan terletak pada menghafal, namun pada menggunakan kosakata itu sendiri.
Mempelajari bahasa bak siswa belajar bersepeda. mereka praktik, bukan mempelajari teori-teori bersepeda, apalagi menghafal bagian-bagian sepeda tersebut. Buat apa mengerti teori, buat apa hafal semua part, tetapi jika pada intinya tetap tidak mampu bersepeda? Iya atau tidak?
Setelah melihat realita yang terjadi di lapangan, maka sebagian besar dari siswa yang telah mendapatkan hafalan kosakata di pikiran mereka, tidak langsung menggunakan tetapi hanya sebatas memorize. Nah, sejauh mana si kekuatan hafalan pikiran seorang manusia? Kalau hanya hafal tanpa menggunakan setelahnya, mungkin beberapa hari kemudian, kosakata tersebut langsung terlupakan.
Beda halnya dengan kita mendorong siswa untuk memperoleh sebuah skill dengan praktik dan praktik. Praktik mendengarkan, latihan membaca dan comprehension, latihan berbicara, dan rajin menulis adalah cara-cara yang membuat mereka terbiasa serta kemudian mampu menggunakan bahasa Inggris secara penuh.
Bukankah ketika belajar bahasa Indonesia, kita praktik dan membiasakan diri, bukan menghafal? Iya kan?
Sebagai guru, buat pembelajaran bahasa Inggris yang memang mengarahkan mereka berpraktik dan bukan berteori. Ciptakan sebuah klub berbahasa Inggris untuk memberikan siswa edukasi-edukasi tanpa kurikulum sehingga mereka bisa belajar bahasa Inggris sebebas yang mereka mau!
Jika kota Anda mempunyai jangkauan koneksi internet yang berkualitas, pacu dan ajarkan siswa agar menggunakan Youtube sehingga telinga mereka bisa mendengar banyak percakapan, mulut mampu fasih berbicara dengan fasilitas skype, mata rajin membaca melalui artikel yang diberikan oleh blog-blog luar negeri, dan tangan giat menulis karena chatting dengan pengguna internet di seluruh dunia.
Tetapi banyak yang bilang bahwa idealisme semacam ini merupakan hal yang begitu dilematis. Bagaimana tidak, saat ini hampir semua pembelajaran bahasa Inggris diarahkan kepada kemampuan siswa dalam menjawab soal-soal. Semakin baik nilai, maka semakin bagus pula indikator keberhasilan mereka dalam mempelajari bahasa Inggris itu sendiri.
Lalu, bagaimana solusi mengatasi hal dilematis semacam ini? Saya akan memberikan pencerahan di artikel selanjutnya. Yang jelas, kita sudah tahu bahwa bahasa adalah praktik, ia merupakan aktivitas memperoleh kemampuan, bukan sekedar mempelajari sesuatu!