Sudah merupakan sebuah ketentuan yang digariskan Tuhan, bahwa di dalam kelas ada si pintar dan ada juga si bodoh. Bagi si pintar, ia mampu mendapatkan nilai setinggi apapun dan mampu mengikuti proses pembelajaran dengan cepat.
Situasi itulah yang membuat si bodoh merasa frustrasi. Ia bertanya, bagaimana saya bisa mendapatkan nilai-nilai yang baik sementara saya tidak bisa berproses secara cepat? Si bodoh yang licik akan mencontek ketika ujian untuk mendapatkan pengakuan yang sama seperti si pintar.
Namun, Apakah kita berkenan menjadi si bodoh nan licik? Tentu saja tidak. Lalu bagaimana caranya siswa yang bodoh mampu mendapatkan pengakuan yang sama seperti yang dimiliki si pintar tanpa menggunakan cara curang?
Logikanya begini, ketika si pintar yang begitu cerdas mampu menyerap seluruh materi pelajaran hanya dengan membaca satu kali, mungkin si bodoh membutuhkan dua hingga lima kali baru bisa memahami.
Lima kali membaca, membuat si bodoh bisa mendapatkan kemampuan yang sama. Dengan pelipatgandaan hard work terhadap semua pelajaran, seorang yang bodoh pasti bisa sejajar juga secara keseluruhan bukan? Dan bahkan jika melakukan dengan intensitas lebih banyak, maka semua kepintaran akan terkalahkan.
Bisa atau tidak sebenarnya bukan perkara jenius atau bodoh saja. Namun lebih kepada kerja keras untuk mendapatkannya. Itulah kenapa Albert Einstein berkata bahwa jenius adalah 1% talenta dan 99% adalah hard work.
Hard work yang dilipatgandakan pada dasarnya merupakan didikan yang pasti, bahwa sebuah pencapaian harus diawali dengan kerja keras. Konsistensi hard work membuat seseorang tidak pantang menyerah dan membuat mereka yakin bahwa suatu saat si pintar juga pasti dikangkangi.
Di dalam dunia bisnis, bahkan lebih ekstrem lagi. Sering ditemukan bagaimana si bodoh mempekerjakan si pintar (akademis) di perusahaan mereka. Seorang yang dahulunya begitu buruk dalam pelajaran kemudian mampu membangun sebuah bisnis besar dengan orang-orang pintar berada di dalam perusahaan untuk bekerja dengan mereka. Semua itu apalagi kalau bukan diawali dengan pembiasaan hard work.
Dengan menciptakan dua sisi yang berbeda tersebut. Tuhan sebenarnya ingin memberikan kesempatan kepada si bodoh apakah mereka mampu membuktikan diri mereka untuk sama rata dengan si pintar. Si bodoh sudah selayaknya mengubah diri mereka untuk menjadi pribadi baja yang siap membanting tulang berjam-jam demi duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan si pintar. Bukan malah melakukan cara curang atau ironisnya menyerah pada keadaan!